Ketulusan Hati

Mereka tidak meminta lebih, hanya senyuman tulus dari sebuah keikhlasan

Harmonisasi Alam

Pencapaian hidup bukanlah segalanya, karena kesederhanaan sudah mampu membuat kenyamanan hidup

Kekeluargaan

Kebersamaan, kekeluargaan, dan tujuan hidup adalah Sahabat USM

Menyatu

Bukanlah harta sebagai penjamin kesejahteraan hidup, melainkan keunggulan dalam berkehidupan

Senin, 24 Februari 2014

Hutan Kuantan



Medio tahun 1980-an, hutan belantara menghampar seperti permadani di sepanjang perjalanan. Tidak beraturan, mengikuti kontur bukit dan lembah. Lanskap alam yang baru pertama kali kulihat. Riuh kawanan siamang. Gerombolan babi hutan. Juga kicau burung-burung. Orkestra alam itu kulihat dari balik kaca bus. Saat  menelusuri jalan tanah, berkelok dan berlobang, mengikuti alur perbukitan.Bus renta terasa berat menggerakkan roda-rodanya. Di tanah lempung, yang menjadi liat dan lekat saat musim penghujan. Hingga roda hitam tanpa gerigi itu, kerap terperosok di kubangan yang menganga di tengah jalan. Berkali-kali, menjadikan perjalanan belasan kilometer harus ditempuh nyaris sehari.Eureka! Akhirnya sampai juga. Di tanah seberang. Tanah asing di pedalaman Sumatera. Tanah yang selama ini tak pernah sekalipun singgah dalam mimpi. Ya, aku harus mengikuti orang tua menjadi transmigran. Mengadu nasib di Pulau Swarnadwipa. Sebab di tanah Jawa, dengan penduduk kian sesak, luas sawah terus menyempit, semakin menyempitkan impian.“Meski orang tuamu SD pun tak selesai, kamu harus bisa melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya,” kata Ibu, berkali-kali. Hingga kata-kata itu mengkristal menjadi butiran doa. Menjadi mantra pengusir ketakutan. Japa penumbuh keberanian.“Ular-ularnya sebesar pohon kelapa!”“Banyak harimau dan siluman!”“Penduduk aslinya pemakan orang!”Tapi tekad mengubah nasib dan kehidupan mengalahkan segala ancaman dan ketakutan.  Di pedalaman Sumatera, apalagi tahun 1980-an, hutan-hutan memang masih lebat. Di usia baru melewati fase balita, aku mulai mengakrabi alam yang berbeda. Hutan. Kata yang sebelumnya tidak kukenal. Karena di Jawa, aku lahir di dusun kecil jauh di kaki gunung. Hanya berpengalaman dengan sawah dan lembah.Perlahan, aku mulai menikmati dekapan lembut pepohonan hutan. Belaian mesra aliran rawa-rawa. Maka hari-hariku pun tak pernah lepas dari kehidupan belantara. Menjerat burung, memancing ikan, mencari sulur untuk bergelayutan, hingga melanglang sampai ke rerimbun tak terjamah. Belajar mengenali tetumbuhan yang bisa dimakan dan diserap sari airnya. Mencari sumber mata air di antara belukar. Bertahan menghindari ancaman binatang buas. Belajar hidup dari alam.Aku tak pernah menemukan ular sebesar pohon kelapa, harimau, siluman, atau manusia bar-bar. Di alam liar, justru kutemukan persaudaraan. Tidak ada konflik dan ketakutan. Masing-masing saling menghargai dan bertoleransi. Antarmanusia atau manusia dengan lingkungan.“Alam merupakan sumber kehidupan. Belajarlah agar bisa hidup dari sana,” Ibu dengan bijak membesarkan hatiku.“Di tengah rimba, kamu harus menjadi lelaki perkasa. Lawanlah segala jenis ketakutan,” Ayah terus menyepuh keberanianku.Berbulan-bulan aku hanya berinteraksi dengan orangtua dan rimba. Juga para  tetangga transmigran dari Jawa, yang sama-sama mengadu keberuntungan dan masa depan. Tak ada hiburan. Kecuali orkestra serangga dan burung-burung nokturnal. Satu-satunya televisi hanya ada di kantor perusahaan perkayuan. Jaraknya hampir lima kilometer. Tak ada listrik. Penerangan kami hanya dari lampu sumbu dan sinar bulan.“Kamu masih betah, Nak?” kata Ibuku, sambil menyaput cat kapur ke dinding-dinding papan. Meski mendapat jatah beras dan lauk pauk dari pemerintah, kebiasaan kerja keras membuat kedua orangtuaku bekerja. Menjadi buruh pengecat rumah-rumah transmigran yang baru selesai dibangun. Sebab dari Jawa mereka hanya membawa bekal beberapa ribu rupiah.Permukiman transmigran adalah rumah kayu berlantai tanah. Rumah mungil setara tipe 36 meter persegi. Dipancang di tengah ladang dan pekarangan. Bekas babatan hutan dengan sisa kayu masih berserakan. Membuat kami harus sigap mengindari sengatan lipan dan kalajengking. Juga ular-ular yang kesasar masuk ke rumah.Aku mengangguk. Karena perlahan, aku semakin mencintai tanah ini. Sebab belantara menjadi laman bermain mengasyikkan. Tanpa video game dan sentuhan teknologi canggih lainnya. Semua alat permainan kami buat sendiri. Memanfaatkan kayu dan tumbuhan hutan lainnya.“Bertahanlah, Nak!” kata Ayahku sambil mengayunkan cangkul. Menggali kehidupan di tanah-tanah lempung. Tanah keras yang ditumbuhi aneka belukar dan rerumputan liar. Menaburkan butiran keringat di ladang-ladang yang mulai dibuka.“Di kampung kita kesulitan mencari tanah garapan. Di sini, kita mendapat ladang yang luas. Tuhan Maha Pemberi. Kita tidak boleh menyia-nyiakannya,” kata mereka sambil memupuk mimpi. Menanami ladang-ladang garapan dengan palawija. Merawatnya seperti merawat anak sendiri. Sejak fajar  hingga senja. Kadang harus menginap di gubuk. Berhari-hari. Menjaganya dari segala jenis hama.Tak ada kerja keras yang sia-sia. Ladang-ladang kami mulai menghasilkan. Jagung, padi dan kedelai sudah bisa dipanen. Juga aneka sayuran dan buah-buahan. Pekarangan yang ditanami ubi dan keladi terus menghasilkan umbi. Cabai dan bawang juga ikut meramaikan perayaan musim panen.                                                                                                                        By: Badri